🐖 Cerita Rakyat Yang Berkaitan Dengan Bencana Alam Gempa Bumi
Jikadibiarkan terus-menerus, hal ini akan menimbulkan dampak yang sangat besar pada ekosistem. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup adalah sebagai berikut. 1. Faktor Alam. Kerusakan lingkungan hidup karena faktor alam terjadi karena adanya bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, dan gunung meletus.
Itudilakukan untuk meminimalisir korban jiwa atau kerugian yang akan ditimbulkan peristiwa gempa bumi. Disamping itu berdasarkan pengalaman yang didapat dari gempa-gempa yang terjadi, berbagai pihak yang berkaitan dan peduli dengan fenomena bencana alam ini pun mengembangkan rumah anti gempa, dan teknik-teknik perlindungan diri sendiri ketika
Oleh: Widhah Salma D/18413244016. Bencana merupakan suatu peristiwa yang menyebabkan kerusakan berupa sarana prasarana maupun struktur sosial yang bersifat mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. Bencana dikategorikan menjadi bencana alam, bencana non-alam dan bencana sosial. Bencana alam terjadi karena alam, seperti longsor,
Selainbencana hidrometeorologi, wilayah Papua pun sering mengalami gempa bumi sehingga hal tersebut juga menjadi perhatian Pemprov Papua melalui BPBD setempat. Oleh karena itu, adanya Sistem Manajemen Data dan Informasi Penanggulangan Bencana Papua (SIMDIP) diharapkan dapat turut membantu mengatasi dan menanggulangi bencana yang
GempaBumi dan Kesiap Siagaan Nasional. Abstrak. Indonesia terletak di salah satu wilayah paling aktif secara geologis. Di Indonesia, terdapat pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Pasifik, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Pergesekan antara lempeng-lempeng tersebut dapat menyebabkan gempa bumi tektonik yang dahsyat.
Gagasan(Wujud ideal) Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat.Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu
Menindaklanjutisurat edaran Plt. Direktur Jenderal, Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 526/B/SE/2018 tanggal 05 September 2018 hal tersebut pada pokok surat, dengan hormat kami sampaikan bahwa sehubungan dengan peristiwa bencana alam gempa bumi yang menimpa masyarakat
10Ayat Alkitab Soal Perlindungan Tuhan di Tengah Bencana Alam. Kisah-kisah yang tertulis di dalam Alkitab mengingatkan kita bahwa berbagai kesulitan yang kita alami saat ini, sebenarnya sudah pernah terjadi di masa yang lalu. Kesulitan-kesulitan ini bukan saja soal sakit penyakit seperti 10 tulah yang menimpa bangsa Mesir (Keluaran 7-10).
Kemunculancacing-cacing keluar dari dalam tanah sempat menggagerkan masyarakat di Solo dan Klaten, Sabtu (18/4/2020). Melembaknya cacing-cacing tanah itu juga dihubungkan dengan fenomena alam, seperti bakal terjadi gempa bumi.. Kepala Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Dwi Daryono, mengatakan kemunculan ribuan cacing yang dikaitkan
. Jakarta - Bumi Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, luluh-lantak pada Jumat sore, 28 September lalu. Gempa bumi berkekuatan 6 pada skala Richter pertama kali mengguncang dengan keras pada pukul disusul dengan gempa yang berkekuatan lebih dahsyat, 7 skala Richter, dan menimbulkan tsunami. Akibatnya, sebanyak nyawa melayang per 5 Oktober Relawan dan Penyintas Bencana Perlu Waspadai Penyakit TetanusKepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan korban yang terkena dampak bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah memerlukan bantuan penyembuhan trauma. Banyak korban menjadi stres karena mereka belum pulih dari keterkejutan akibat bencana pertama, tapi masih harus berhadapan dengan sejumlah gempa susulan yang masih berlangsung."Ini yang disebut periode panik... mereka masih trauma, gempa masih berlangsung, kebutuhan juga terbatas. Keadaan ini menyebabkan mereka stres dan menderita, maka perlu diredam dengan trauma healing," ujar trauma sangat tak mudah. Bagi Ismail, 32 tahun, peristiwa gempa Padang, Sumatera Barat, pada 30 September 2009, akan melekat dalam ingatan. Dia dapat diselamatkan setelah terkubur dalam reruntuhan selama 18 jam dan bergantung pada celah di antara material untuk bernapas dan meminta itu, Ismail menuju rumahnya di Korong Lubuk Laweh Nagari Tandikek Utara, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Dia masih ingat betul urutan kejadian kala musibah tersebut terjadi."Sampai di rumah, saya mengunci pintu karena akan salat asar. Tiba-tiba terjadi gempa keras, dan saya tidak bisa lari," ucapnya. Dia menyaksikan dinding depan rumahnya roboh saat berhenti. Dia melihat pohon kelapa tumbang. Lantas dia lari ke belakang rumah. Mendadak sontak rumahnya karam dan dia dihantam tembok rumahnya dengan keras."Saya seperti terseret, longsor, dan tahu-tahu sudah tertimbun material," ucapnya. Hanya ada sedikit celah tempat dia menggantungkan nasib, untuk bernapas dan meminta berlalu, teriakannya terasa sia-sia."Saya berhenti minta tolong untuk atur pernapasan," tuturnya. Lalu, dia kembali minta tolong."Setiap saya menjerit minta tolong, tanah masuk ke mulut," ucapnya. Saat itu, dia mulai sedikit merasa putus asa hingga sekitar pukul dia mendengar ada derap langkah material yang menimbunnya dipindah satu per satu hingga kepala dan dadanya terbebas dari impitan material. Namun, sayang, material yang mengubur tubuh bagian pinggang hingga ke bawah tak dapat diangkat. Ditambah satu lagi kabar buruk baginya saat itu, kakinya terjepit beton dan perutnya nyaris Sembari menunggu pertolongan lanjutan datang, ia bertanya kepada orang yang menolongnya."Kenapa baru datang bantu saya, padahal sudah berteriak sejak tadi," tuturnya. Jawaban yang mengalir membuatnya terperanjat."Orang itu bilang tidak ada siapa-siapa lagi di situ yang masih hidup yang bisa menolong." Lalu orang itu menangis di sampingnya. Ismail sendiri hanya bisa termenung. Sekitar 132 warga Korong Lubuak Laweh Jajaran meninggal dunia terkubur longsor yang dipicu baru dapat dievakuasi penuh pada 1 Oktober 2018, sekitar pukul Artinya, dia sudah tertimbun selama 18 jam di reruntuhan beton."Saya dirawat di rumah sakit sekitar 17 hari, kaki saya patah dan retak sehingga harus menggunakan tongkat sebagai alat bantu jalan," ujarnya. Musibah tersebut menyisakan tanda yang ia bawa seumur hidup ia menjadi di pengungsian, Ismail mesti berdamai dengan kehilangan fungsi normal kakinya. Dia juga mesti belajar berdamai dengan rasa trauma yang teramat pekat menguasai pikirannya."Saya takut masuk ke rumah bertembok, saya takut melihat perbukitan, saya juga takut melihat angin badai," katanya. Selama setahun dia berjibaku melawan trauma Bangkit dari Bencana ala Warga Pulesari, Mencoba jadi TarzanPerlahan, dia bangkit. Dia menyadari perekonomian warga kampungnya lumpuh."Kampung habis, tapi kebetulan masih ada kebun," ucapnya. Ismail mencoba membangkitkan semangat masyarakat dengan memaksimalkan potensi kebun."Saya mengajak masyarakat menanami kembali daerah yang longsor... kami menanam durian."Saat ini, Ismail dikenal sebagai salah satu tokoh pegiat isu-isu kebencanaan, salah satunya di lembaga nonpemerintah Bumi Ceria, yang punya fokus di isu kebencanaan. Dia juga tengah melanjutkan kuliah dan aktif pula sebagai pengurus HMI Komisariat Padang Pariaman."Anak-anak di sini akhirnya memiliki pendidikan yang lebih tinggi juga," TEMPO PITO AGUSTIN RUDIANA DINI PRAMITA
NEW YORK Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu PBB bersama rakan kongsinya bersedia untuk menyediakan bantuan kecemasan untuk Haiti yang dilanda gempa bumi serta banjir dan tanah runtuh, kata jurucakap PBB pada Selasa. “Kami amat sedih dengan kehilangan nyawa, kemusnahan harta benda dan penderitaan rakyat Haiti akibat gempa bumi,“ kata Stephane Dujarric yang juga jurucakap Setiausaha Agung PBB, António Guterres. Beliau berkata “Setiausaha Agung mengucapkan takziah kepada keluarga mangsa dan berharap agar mereka yang cedera segera sembuh.” Gempa bumi berkekuatan pada skala Richter melanda bandar selatan Jeremie di wilayah Grand’Anse pada pagi Selasa. Kawasan itu sebelum ini sudah pun terjejas akibat hujan lebat pada hujung minggu yang menyebabkan banjir dan tanah runtuh. Gegaran gempa itu dilaporkan telah menyebabkan sekurang-kurangnya empat orang meninggal dunia dan 36 orang yang lain cedera. Dujarric berkata PBB bersedia untuk bekerjasama dengan pihak berkuasa Haiti dan rakan kongsi lain untuk membantu mengurangkan penderitaan rakyat yang memerlukan bantuan. Menurut Pejabat PBB untuk Penyelarasan Hal Ehwal Kemanusiaan OCHA, mereka sedang bekerjasama dengan Dana Kanak-Kanak PBB, Program Makanan Sedunia WFP dan Pertubuhan Antarabangsa untuk Migrasi bagi menyokong komuniti yang terjejas teruk di sekitar bandar raya Port-au-Prince. WFP sedang bersiap sedia untuk mengedarkan kira-kira 350,000 makanan kepada mereka yang memerlukannya dengan segera. Banjir dan tanah runtuh telah melanda tujuh daripada 10 kawasan di Haiti dan pihak berkuasa melaporkan sekurang-kurangnya 51 orang terbunuh, 140 orang yang lain cedera, 18 masih hilang dan hampir 32,000 rumah ditenggelami air. Selain bencana alam yang merosakkan jalan-jalan dan menghalang usaha bantuan, Haiti juga bergelut dengan masalah keselamatan yang serius, menurut OCHA. - Bernama
- Bocah ini mengenalkan diri sebagai Acang. Dia enggan dipanggil dengan nama aslinya oleh siapa pun, termasuk oleh kawan-kawannya. Gerak-geriknya lebih dewasa ketimbang teman sebayanya. Dia enggan bermain balon hidrogen meski semua temannya melakukan itu. Dia juga enggan berkelahi dan memilih mundur saat kawannya menantang. Pengalaman hidup yang membuatnya lebih dewasa dari usianya. Acang lahir dari keluarga miskin. Dia rutin membantu bapaknya, seorang petani, mengambil kelapa langsung dari pohon. Dia bahkan tak naik kelas karena mengaku tidak ada cukup waktu untuk belajar. Tahun ini, dia semestinya kelas enam. Rutinitas ini bahkan kembali ia lakukan tak lama setelah gempa besar mengguncang rumahnya di Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 28 September tahun lalu. Tak ada pilihan lain bagi Acang dan keluarganya, sebab saat itu, bantuan-baik dari pemerintah atau swasta-sangat minim sementara dapur tetap perlu mengebul. Dia mengenakan pakaian sekolah putih lusuh dengan dalaman yang panjang lengannya lebih panjang dari baju sekolah. Celananya kebesaran, dan sepatu yang sudah jebol di sana-sini. Dia tak pakai topi, hilang, katanya. Meski miskin dan pernah tak naik kelas, Acang punya cita-cita setinggi langit. Dia betul-betul ingin berkarier di langit. Menjadi pilot. "Karena bisa antar orang ke mana-mana," akunya kepada saya, Kamis 18/7/2019 kemarin. "Sebetulnya mau jadi tentara juga, tapi saya takut mati."Kami bicara seperti orang dewasa. Saya bertanya, dia jawab, lalu melemparkan pertanyaannya sendiri. "Kalau jadi wartawan ngapain aja? Tanya-tanya orang, ya?""Di Jakarta enak?" "Di Jakarta panas enggak seperti di sini?" Pertanyaan-pertanyaan itu saya jawab dengan senang hati. Lalu satu per satu kawan-kawannya mendekati kami hingga membentuk lingkaran. Saya, yang tadinya lebih banyak bertanya ke Acang, jadi diberondong pertanyaan oleh bocah-bocah SDN 1 Tulo ini. Mereka semua adalah korban Gempa Palu. Siswa kelas 5 SDN 1 Tulo awalnya berjumlah 30, tapi setelah gempa sisa 26. Empat lainnya memutuskan pergi dari desa tersebut, atau memang sudah tak ada. Anak-anak yang bersama saya tak ada yang bilang suatu saat nanti ingin ke ibu kota, tak ada yang mau tinggal di Sigi. Saya bilang jangan karena Jakarta itu tak enak, macet, sumpek, penuh polusi, dan bisa bikin orang gampang jadi pemarah. Tapi mereka tidak peduli. "Di Jakarta itu gampang cari kerja," kata salah satu dari mereka, entah dapat kabar dari mana. Saya awalnya ragu bertanya apa yang mereka alami pada malam jahanam itu. Saya tak mau membuat mereka sedih lagi. Tapi salah satu dari mereka, Andika Pratama, kelas 5 SD, bercerita tanpa ditanya "waktu itu saya lagi mandi. Pas gempa saya keluar rumah, telanjang." Andika juga punya cita-cita. Jadi polisi, katanya, sebab polisi "memberantas kejahatan, termasuk sabu-sabu." Andika bilang di daerahnya orang-orang dewasa gemar nyabu. Dia bahkan pernah melihat transaksi haram itu di bangunan kosong samping kuburan yang terletak di belakang sekolahnya. Bocah-bocah ini berebut bercerita, mencoba menarik perhatian saya dengan suara yang dikencang-kencangkan. Saya tak sempat mencatat banyak. Takjub karena mereka bisa menceritakan itu semua dengan entengnya, seperti bercerita bagaimana rasanya naik wahana di Dufan atau berkisah soal pengalaman hari pertama masuk sekolah. Tak ada beban. Saya mungkin tak bisa melakukan itu jika ada di posisi mereka. "Saya sudah tidak takut. Dulu iya," aku Andika. Dia lalu bercerita bak seorang petugas senior dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB soal apa yang perlu dilakukan jika suatu saat terjadi gempa lagi. "Berlindung di bawah meja, atau keluar rumah cari lapangan. Yang penting jangan dekat-dekat dinding," katanya, lalu disambut temannya yang lain. "Betul... betul..." Sebagian dari mereka masih tinggal di hunian sementara huntara karena rumah rusak atau hancur sama sekali meski gempa hampir terjadi satu tahun lalu-per Maret lalu, berdasarkan catatan Yayasan Sayangi Tunas Cilik, anak masih tinggal di huntara yang kondisinya tak bisa dibilang baik. Kami berbagi cerita di sebuah lapangan di belakang SDN 1 Tulo, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi. Di sini 500 anak lain-SD, SMP, dan SMA-tengah mengikuti acara Hari Anak Nasional HAN 2019 dengan tema 'Kita Anak Indonesia, Kita Sehat dan Gembira' yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Sigi dengan dukungan yayasan sosial Wahana Visi Indonesia WVI dan bank HSBC. Dalam acara ini panitia menggelar beberapa lomba untuk Dwi Septiani, Manajer WVI Sigi, mengatakan salah satu fokus organisasinya saat ini adalah penyembuhan psikologis anak-anak. Meski di luar mereka tampak seperti anak-anak biasa, tapi di dalam mereka sesungguhnya masih rapuh. Penyembuhan dari trauma perlu waktu yang panjang. "Semoga [acara ini] bisa membuat anak-anak gembira," katanya. "Juga kepada orangtua. Acara ini untuk kembali mengingatkan kita bahwa anak-anak adalah masa tumbuh kembang yang perlu didukung," sambung Dwi. Acara ini memang sekilas melepas beban mereka. Yang ada hanya tawa; tak ada sedih. Anak-anak, bersama ibu dan bayi lahir, adalah kelompok yang paling rentan dalam kondisi bencana. Begitu kata Organisasi Kesehatan Dunia WHO. Karena itu WVI juga mendirikan posyandu di beberapa tempat dan melatih orang-orang agar jadi 'kader kesehatan'. Sayangnya tidak semua anak-anak seberuntung atau sekuat Aceng atau Andika, atau anak-anak yang turut serta dalam acara hari anak. Saat saya melintasi bekas jalan aspal yang amblas-kira-kira 5-7 meter-di kawasan Perumnas Balaroa, salah satu lokasi likuifaksi terparah, beberapa bocah menghampiri mobil yang saya tumpangi. Jalanan yang rusak membuat mobil melaju pelan sehingga bisa terus diikuti bocah-bocah tak beralas kaki itu dari samping. Saya tidak dengar apa yang mereka katakan karena pintu mobil tertutup rapat. Tapi dari raut wajahnya, mereka jelas-jelas tengah meminta satu dua lembar rupiah dari saya."Enggak usah dikasih, nanti kebiasaan," kata Pak Sopir yang membawa saya. Anjurannya sama persis seperti yang tercetak pada papan pengumuman yang pernah saya lihat di lampu-lampu merah Jakarta. Saya mengikuti anjurannya, lalu kembali memelototi gawai yang sedari tadi tak saya lepas dari genggaman. Saya sampai ke satu artikel. Di sana tertulis diperkirakan, ada ribuan jasad masih tertimbun di reruntuhan Perumnas Balaroa. Saya langsung bergidik, sebab beberapa menit sebelumnya saya baru saja menginjakkan kaki di reruntuhan pemukiman yang tak lagi diapa-apakan itu. Pemandangan yang sangat sureal karena latar belakang kuburan massal tanpa nisan itu adalah perbukitan hijau, langit biru, dan garis awan putih yang membentuk citra bak di negeri lalu melongok ke belakang, melihat lagi bocah-bocah itu, dan berpikir apa mungkin orangtua mereka juga tertimbun di bawah sana? - Sosial Budaya Reporter Rio ApininoPenulis Rio ApininoEditor Mufti Sholih
cerita rakyat yang berkaitan dengan bencana alam gempa bumi